Pemerintah pusat ataupun daerah dapat menginisiasi program parenting electronic, pelatihan literasi electronic digital di sekolah, dan menyediakan kegiatan alternatif yang positif berbasis teknologi, seperti coding, desain game edukatif, atau esports sehat. Anak-anak tidak semata-mata dijauhkan dari game, melainkan juga diberi ruang agar meraih tumbuh dan bertumbuh dengan sehat di dunia digital yang kini menjadi periode penting dari kehidupan modern. Dengan demikian, ruang digital bisa berubah dari ancaman menjadi peluang bagi mencetak generasi anak remaja yang terampil, sehat, dan siap bersaing di masa hadapan. Di sinilah garis pemisah antara konsep “olahraga” dan “latihan fisik” mulai kabur, sebab aktivitas fisik dalam esports bukanlah bagian inti yang permainan, melainkan elemen pendukung demi penampilan maksimal. Beruangjp pada akhirnya tidak sebatas berkutat pada keterampilan mengendalikan perangkat atau joystick, tetapi jua melibatkan kekuatan psychological dan kebugaran fisik.
Dalam kelompok usia 18 sehingga 29 tahun, minat terhadap esports naik dari 27 persen pada kuartal mulailah 2021 menjadi 31 persen di kuartal kedua tahun 2024. Fenomena ini kian menguat seiring ramainya turnamen esports yang diselenggarakan baik di tingkat nasional juga internasional. Kehadiran para atlet digital yg berlaga di panggung dunia pun turut mengharumkan nama bangsa, mempertegas bahwa esports bukan sekadar hiburan, melainkan juga medan prestasi.
Namun, terlepas dari pencapaian tersebut, dunia esports sempat terguncang oleh penjelasaqn kontroversial dari Menteri Komunikasi dan Electronic Republik Indonesia, Meutya Hafid. Hal ini disampaikannya dalam sebuah video pendek (shorts) di akun Vimeo Kompas TV di dalam Rabu, 25 Mei 2025. Oleh sebab tersebut, penanganan isu game online hendaknya bukan sekadar fokus pada pelarangan dan pembatasan, melainkan juga di dalam edukasi serta pendampingan.
Review Realme 13, Smartphone Gambling 2 Juta Siap Libas Game Favoritmu!
Perdebatan tentang sejauh dimana tingkat kelayakan esport sebagai bentuk “olahraga” atau sport kerap berpusat pada unsur keterlibatan fisik selaku tolok ukur utama. Dalam perspektif biasa, olahraga dianggap sebagai aktivitas yang menuntut gerakan tubuh, peningkatan detak jantung, juga keluarnya keringat. Tidak bisa dimungkiri bahwa mayoritas pemain esports menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar monitor. Kondisi sekarang kerap menjadi bahan kritik terhadap industri esports karena cara hidup yang kurang gerak fisik berpotensi memicu berbagai pasal kesehatan, seperti ganjalan postur tubuh, obesitas, hingga gangguan dalam indera penglihatan. Sebuah studi yang dilakuin DiFrancisco-Donoghue pada tahun 2019 menunjukkan yakni lebih dari forty persen atlet esports profesional tidak mencapai tingkat aktivitas fisik yang dianjurkan.
Jadwal Playoff Mpl Ph S15, Format, Hasil Pertandingan, Dan Cara Menonton
Di dalam konteks ini, esports menempati posisi exklusiv yang menjembatani masa olahraga fisik dan cabang olahraga berbasis kemampuan kognitif. Seperti catur, bridge, atau biliar yang telah memperoleh pengakuan yang Komite Olimpiade Internasional, esports juga menuntut konsentrasi tinggi, koordinasi motorik yang jitu, serta daya tahan mental yang menarik. Melansir Eusa College Sports Europe, atlit profesional di dunia esports menjalani sesi latihan intensif hingga enam hari di seminggu.
Kontroversi terkait game online yang selalu dikaitkan dengan perilaku negatif hingga hadirnya wacana memindahkan siswa bermasalah ke barak militer menunjukkan bahwa masyarakat dan pemerintah masih dalam tahap mencari solusi terbaik untuk menghadapi tantangan di dunia electronic digital. Di satu sisi, kekhawatiran akan dampak negatif game, terutama yang mengandung unsur kekerasan dan risiko kecanduan, memang gak bisa diabaikan. Namun, di sisi lain, pendekatan yang terlalu keras dan generalisasi justru berpotensi mengesampingkan potensi serta minat anak-anak dalam bidang digital, termasuk esports.